Nama : MAY SISKA DEBORA
Npm : 126211426
Kelas : 5A
OBAT AWET MUDA
19/07/2012 17:25
Kota Rengat, suatu
siang, Agustus 2010. Aku “ngopi” di sebuah warung lontong, di depan
“Mess PU”. Pemilik warung seorang wanita
30-an, mengaku janda, menyuguhkan kopi, berikut sungging senyum. Kami, kemudian
terlibat perbincangan seputar Rengat masa silam, saat daerah ini menjadi objek
liputanku. Kehadiranku di “Kota Kedondong” kali ini, bukan untuk tugas
jurnalistik. Hanya sekadar mendampingi seorang teman, seorang pimpro
pembangunan jalan di sana.
Tiba-tiba, obrolan terusik. Seorang pria
(50-an) berkulit hitam legam, berfostur mungil “nyelonong”.
Setelah memarkir becak dayung-nya—(fick-up, biasanya untuk mengangkut
barang, bukan penumpang)—di depan warung, di pinggir jalan raya, dia duduk di
hadapan saya, menghadap meja papan di warung terbuka itu. Terus terang,
“keasyikan” ngobrol dengan si Janda, malah kian “distorsi”, saat si Pria
ini, sering “intervensi” atas pertanyaan-pertanyaanku buat si Janda. Si Pria
ini, seolah “shok” tahu.
Tetapi, di luar itu, yang membuatku rada tak
enak, justru tutur kata si Pria ini. Dalam usianya—menurut taksiranku
maksimal 55 tahun—kurang sreg rasanya dia menggunakan kata:”Nak” saat
menimpali bicaraku, mengingat usiaku juga sudah memasuki angka 47. Logikanya,
perbedaan usia kami hanya terpaut 7 tahun. Lebih nyaman kedengarnnya jika dia
menggunakan kata “Dek”. Toh,”kebencianku” sirna juga, kala senyumnya yang khas,
selalu mengiringi ucapannya. Senyum, memang ampuh: penawar kebencian.
Saya menawarinya ”ngopi”. Namun, dia menolak
seraya tetap mengumbar senyum: “Terima kasih, Nak! Saya sudah minum kopi tadi,
Nak...” Wah, dia kembali memanggilku: ”Nak!” Kali ini, kesabaranku mulai
menipis. Aku pasang target. Jika sekali lagi dia memangggilku sebagai
“Anak” wajar pula aku menegur dia dengan pertanyaan: sudah berapa sih
usianya? Kok, tega-teganya dia menganggap aku masih taraf anak baginya?
Yang kukhawatirkan itu, memang muncul: “Dari
mana tadi, Nak?” tanyanya, saat menyulut api di ujung batang rokoknya yang
ketiga. Setelah menjawab sekenanya, kucoba bertanya pelan tapi jelas: “Mohon maaf
ya, Pak?! Berapa usia Bapak sekarang?” Saya mencoba selembut mungkin, tetapi
dia malah tertawa dan berujar lugas: “Saya lahir tangal 15 Januari 1910. Coba
Anak yang hitung sendiri,” katanya, tanpa beban.
“Wowwww...!” tiba-tiba aku mendengar teriakanku
sendiri, hingga si Janda tertawa lebar.Tetapi, kali ini si Pria ini, tak lagi
tersenyum. Mungkin, dia tengah menjaga keseriusan dan kesan jujur dalam
ungkapannya. “Makanya, dari semua pertanyaanmu tadi tentang daerah ini, bisa
kujawab, Nak. Sebab aku sangat mengenali negeri ini. Aku juga menolaktawaranmu
minum kopi,karena dimana-mana aku selalu disuguhi kopi gratis. Tak satu
warung pun di kota ini yang ‘tega’ menerima bayaran kopiku,” katanya.
Saya mohon maaf karena lebih dulu merasa risih
atas tutur katanya. Atas rasa bersalah itu pula, aku berupaya menetralisir
suasana. “Kalau begitu, malah Datuk lebih layak memanggilku: ‘Cucu’. Itu yang
pas...,” dia hanya tersenyum. Senyum seorang pria paling tua dan paling sehat
yang pernah kutemui. Senyum seorang veteran kehidupan...
Si Datuk berusia seratus tahun lebih itu,
kemudian bercerita panjang menjawab pertanyaan-pertanyaanku, seputar
keluarganya, perjalanan hidupnya dan pendidikan formalnya, sebatas kelas 3 SR
(SD). Dia anak sulung dari 10 bersuadara. Dari sepuluh itu, hanya dia dan
adeknya yang ke-7 (sudah uzur) yang masih hidup.
Saat ini si Datuk hidup dengan istri ketiganya
(usia 70 taun). Istri sekarang pengganti istri kedua yang sudah
meninggal, isteri kedua, pengganti isteri pertama yang meninggal. Dari ketiga
istrinya itu dia dikarunia 15 orang anak, sebagian sudah meninggal. Saat
wawancara berlanjut, tiba-tiba dia melirik jam tangannya. “Maaf, Nak. Saya
pergi sebentar, nanti kembali lagi”. Ia berlalu dengan becaknya ke tengah
keramaian lalu-lintas yang terik, siang itu. Saatnya melanjutkan pembicaraaan
dengan si Janda untuk melengkapi bukti-bukti pendukung usia si Datuk.
Sadar bahwa waktu siaran berita “Liputan Siang”
tiba, aku kembali ke Mess nonton TV-One. Wah beritanya masih itu-itu juga.
Seputar polemik tentang larangan merokok dan buruknya layanan medis di tanah
air. Hana saja aku mencatat angka fantastis: TV mengutip, data Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lembaga kesehatan dunia
(WHO), jumlah perokok di Indonesia menempati peringkat ke-3 di dunia, lebih
dari 80 juta penduduk Indonesia merokok. Kematian akibat merokok di Indonesia
mencapai 427.948 orang setiap tahunnya atau 1172 perhari. Sebagian besar di
antaranya adalah usia produktif.
Di sisi lain, disebutkan, usia harapan hidup
penduduk Indonesia menurut WHO berkisar rata-rata 66,4 tahun. Angka ini jauh
berada lebih rendah daripada angka harapan hidup Negara Vietnam rata-rata 69,6
tahun, Filipina rata-rata 68,3 tahun, Malaysia rata-rata 72 tahun, dan
Singapura rata-rata 79,6 tahun.Yang ironis, “Sistem Pelayanan Kesehatan
Indonesia Terburuk di ASEAN,” kata penyiar TV mengutip Dokter Nugroho
Wiyadi di Gedung Radiputro FK UGM. “Pusing” memirsa siaran TV aku kembali ke
warung.
Sepuluh menit berselang sebuah becak barang
sarat muatan kayu bekas yang terurai ke jalan melintas pelan di jalan.
Pengandaranya, seorang pria melambai dengan senyuman kepada saya.
“Hai...Datuk...!” saya melambaikan tangan. Belum lenyap heranku, si Datuk sudah
parkir kembali depan warung. Begitu lincahnya, dia. Malah,dia masih berani
tanding lomba lari dengan pria usia 30-an. “Insya Allah, masih kuat,” tawanya
renyah.
Wawancara belanjut. Sebelum mengorek informasi
seputar kiat hidup awet muda, aku mengumpan dengan pertanyaan menakutkan.
Tetapi, tetap saja dia bicara ringan soal kematian: “Itu sangat menakutkanku
menjelang usia 80-an dulu. Sekarang tak jadi soal, Nak. Mau mati sekarang,
nanti atau besok, terserah Tuhan sajalah! Kematian milik semua orang, semua
umur. Kemarin pagi tetanggaku meninggal usia 74 tahun. Dua hari sebelumnya bayi
umur 6 bulan meninggal juga,” katanya, enteng.
Mengagumkan, memang. Banyak orang berumur
panjang, sedikit yang awet muda. Masih tetap menekuni profesinya,
”menarik” becak sarat muatan,menjelang pagi, di terik siang, sore hingga
larut malam. tak pernah sakit selama hidupnya, seorang perokok “berat”
(rata-rata 3 bungkus sehari), tidak pernah cek-up ke dokter, nyaris
tidak mengenal menu bergizi. Pergi tidur saat larut malam, bangun paling pagi.
“Sengguhnya, akulah ‘penguasa kota’ ini,” colotehnya.
Lantas, apa resep rahasia yang dipakainya?
“Jika Anak mau, resep tetap awet dan panjang umur masih kusimpan di rumah.
Gratis! Mari kita jemput,”dia mengundangku ke rumahnya, tak jauh dari warung.
Karena aku masih bergeming, dia menjelaskan resepnya. Tepung yang
digiling dari kumbang putih, warisan kakeknya. “Tepung itu dimasukkan ke
segelas air putih dan diminum, setiap pekan,” jelasnya.
“Datuk yakin, tepung itu yang membuat Datuk
awet mud dan panjag umur?” saya tanya dia. Dia hanya bekilah: “Yang
jelas, itu yang terus kuminum. Tapi apakah karena itu aku panjang umur dan
awet, tidak jaminan juga. Sebab, saudaraku juga minum itu dan mereka
sudah pada meninggal...,” ceritanya. Barangkali, lebih baik aku menggali
resef dari sisi realitas. Seputar realita kehiduapn yang dijalaninya sebagai
seorang “penarik”becak.
“Aku yang membangunkan kota ini setiap pagi,
dan pulang saat malam telah dijemput larut,” katanya tertawa lebar. “Aku hidup
tanpa beban, selalu tersenyum pada semua orang. Kerjaku, walau hanya seorang
buruh sangat kusenangi. Dengan pekerjaan ini aku selalu bisa membantu orang,
setiap saat. Membantu, berarti meringankan beban orang dengan senang hati,
sepenuh hati. Tanpa dongkol, tanpa dengki apalagi dendam,” tuturnya.
Seratus tahun lebih dia hidup dalam siklus
kehidupan alami: memberi dan menerima “Sesungguhnya, manusia yang paling
beruntung adalah manusia yang paling panjang umurnya dan paling baik
amalannya,” Al – Hadis. Dalam benakku: Betapa besar anugerah Allah yang dia
terima sebagai orang yang berusia lama dan tetap sehat. Hidup sederhana,
kemiskinan telah menyisihkannya dari hiruk-pikuk modernitas dan
kecanggihan pendidikan.
Sebagai seorang “mahaguru” alumni “universitas
kehidupan” ternyata kemurahan alam telah dia terima atas pemberiannya yang
tulus pada khalayak lewat pekerjaannya yang sangat bersahaja, tanpa keluhan
itu. Sampai-sampai terlalu sulit bagiku melukiskan pancaran kebahagian di raut
wajahnya. Tetapi, rasa penasaran atas rahasia awet muda yang dipakainya,
sekaligus terungkap: mencintai pekerjaan, dan berbuat baik buat sesama. Dua
indikator pencipta kebahagiaan?
“Juga resep panjang umur. Inggris sebagai
negara beradab menoreh sejarah kepemimpinan gemilang di bawah kendali Wiston
Churcil; seorang perokok berat, pecandu alkohol dan jarang berolahraga, sibuk
mengurus negara dan sempat menulis buku-buku. “Tetapi, karena dia sangat
mencintai pekerjaannya dan sangat bahagia. Dia meninggal di usia 91 tahun,”
kata Dr. Schwart.
Sebagai jurnalis dan seorang pengajar di
perguruan tinggi, banyak memberiku pengetahuan kemanusiaan. Ribuan generasi
muda di kampus “berlari kencang” mengejar ambisi. Begitu ambisiusnya, hingga
kerap bias tentang yang ingin mereka raih di antara misteri keilmuan dan
esksistensi dosen yang terkadang eksklusif. Konon, masih ada segelintir dosen
yang “pamer’ gelar akademik mempertontonkan a buse of power
kepada mahasiswa yang “sesat”. Tanpa paham tujuan hakiki keilmuan itu
sendiri.
Dalam rentang waktu yang berpacu, sistem
pendidikan tinggi terkesan sekadar memacu mahasiswa meraih gelar sarjana.
Seterusnya, secepatnya beroleh pekerjaan “bergengsi” nyaman dan terjamin. Wajar
jika kaum skeptis menuding sistim pendidikan kita bagai “penjara” yang
rutin memproduk para “napi” yang sulit beradaftasi dengan alam. Kehidupan
sarwa materi adalah impian tanpa syarat yang harus diraih. Tetapi, lupa pada
peran alam yang menganugerahi kehidupan yang paripurna.
Padahal, sejarah mencatat, seorang wanita saja
mampu menaklukkan peran universitas, manakala kita melirik biografi Thomas
Edison, salah seorang manusia terbesar dalam sejarah peradaban, yang hanya
memperoleh sekolah dari didikan ibunya setelah diusir dari sekolah dasar.
Edison, tidak hanya tercatat sebagai penemu besar, konglomerat juga seorang
yang panjang umur dan awet muda. Edison tidak hanya menciantai pekerjaannya
tapi hidup sangat bahagia. Masalahnya, adalah, sebagian besar ummat
manusia hanya butuh kebahagiaan saat ditanya apa cita tertinggi yang
ingin dia raih. Kebahagian diraih, panjang umur didapat, awet muda juga
diperoleh...
Tentu saja, kurang etis membandingkan si Datuk
di Rengat dengan Churchil apalagi Edison. Tetapi dalam dua asfek
ketiganya sama: bahagia dan sangat mencintai pekerjaan. Aku melihat, si
Datuk, yang lebih dikenal dengan “Pak Moman” ini adalah sosok langka di era
modern, kini. Era yang selalu mengelu-elukan canggihnya medis di negeri
seberang; era yang mendewakan kedok pendidikan dan gelar akademik yang konon
berkorelasi dengan harapan hidup; era yang menempatkan uang sebagai varibel
mutlak, meraih kebahagiaan.
Saat fakta-fakta membuktikan bahwa uang,
gelar, pangkat dan jabatan saja, tidak mampu membeli obat awet muda, saat
itulah aku bertemu “Professor” Moman alumni “universitas kehidupan” dengan
garis hidupnya yang khas mengingatkanku pada ungkapan Helen Keller seabad
silam: “Sesungguhnya, orang berpendidikan adalah orang yang mengerti banyak:
kehidupan yang dijalaninya”. (Wahyudi El Panggabean)
ANALISIS
1. Tataran Fonologi
-
Perubahan fonem /p/
menjadi /f/
Lafal tidak baku: berfostur
Lafal baku: berpostur
-
Perubahan fonem /f/
menjadi /k/
Lafal tidak baku: taksiranku
Lafal baku: tafsiranku
-
Penambahan fonem /m/
Lafal tidak baku: ummat
Lafal baku: umat
2. Tataran Morfologi
-
Penyingkatan morf meng-,
meny-
Lafal tidak baku: ngopi, nyelonong
Lafal baku: mengopi, menyelonong
3. Adanya pengaruh bahasa daerah
-
Ngopi, nyelonong
Kata ngopi dan nyelonong dipengaruhi oleh bahasa daerah yaitu
Jawa dan tidak ada didalam KBBI.
4. Penggunaan kata asing
-
Lafal tidak baku: a buse of power
Lafal baku: sebuah kekuatan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKata "ngopi" diapit oleh tanda kutip, itu artinya, kata itu tidak baku.Dalam sistem penulisan di media massa, kata yang diambil dari bahasa sehari-hari, yang belum baku menggunakan tanda kutip. Makanya, kata "ngopi" & "nyelonong" diapit oleh tanda kutip. Jadi, tidak perlu Anda analisa kata yang diapit oleh tanda kutip sebagai kesalahan berbahasa. Kemudian, istilah a buse of power dimiringkan (italic) penulisannya, karena memang menggunakan istilah asing. Jadi, tidak ada penggunaan yang salah di kalimat itu. Arti kalimat itu juga bukan seperti yang Anda jelaskan. Itu artinya "keangkuhan tas kuasaan".yang dmilikiseseorang. Lantas, taksiran itu asal katanya taksir (hitungan-lihat KBBI-pen) bukan berasal dari kata tafsir. Kemudian kalimat asing: A Buse Of Power, penulisannya dmiringkan (italic) karena menggunakan istilah asing. Arti dari A Buse Of Power adalah keangkuhan atas kekuasaan yang dipunyai seseorang. Bukan seperti Anda jelaskan. Saran saya: sebelum Anda menganalisa kesalahan berbahasa perbaiki dulu kemampuan berhasa Anda.Sebab, bisa jadi analisa kesalahan berbahasa justru kesalahan pada Anda. Kok, buru-buru menyebarkannya di media sosial. Tetapi apapun niat Anda saya ucapkan: tks.
BalasHapus